Tuesday 15 June 2010

Daging Unggas Beku Lebih Aman

Bila Anda diminta memilih daging unggas yang tampak segar padahal berformalin dan daging unggas yang diawetkan dengan pembekuan, tentu Anda memilih yang kedua. Sebab, biasanya, unggas beku itu bebas bahan beracun.

“Empat jam setelah dipotong, tanpa pengawet, daging unggas mulai membusuk. Salah satu cara mengawetkan yang manusiawi adalah dengan didinginkan (dibekukan, Red.),” ungkap Drh. Hari Wiyoso Tri Kuncoro, pengusaha daging unggas beku di Cinere, Depok, Jabar. Berjualan unggas setelah dipotong dalam volume besar, lanjut dia, tidak mungkin sekaligus habis. Oleh sebab itu, sisanya harus dibekukan.

Sebelumnya, Hari mengaku berjualan daging unggas segar. Kelemahannya, daging unggas hasil pemotongan pukul enam pagi, empat jam kemudian sudah kelihatan menghijau. Atas dasar itu pula, dia beralih jualan daging unggas beku.

Menurut Hari, di pasar, boleh dibilang 80% daging unggas yang dijual segar, menggunakan formalin sebagai bahan pengawetnya. Sebenarnya banyak bahan pengawet, tapi yang paling murah adalah formalin. Tapi jangan salah, formalin termasuk racun yang paling karsinogenik (menyebabkan kanker).

Hal senada diutarakan Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi, ahli dan Dosen Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB. “Bagaimana pun hewan yang sudah dipotong seperti kambing, domba, sapi, juga unggas, (karkas) itu harus dipertahankan dengan rantai dingin. Artinya, dia harus dipertahankan kondisinya di bawah 4oC. Oke, ada orang mengatakan 7oC,” paparnya.

Masa simpan daging unggas di suhu kamar (tempat terbuka) tanpa adanya penambahan bahan-bahan yang aneh, lanjut Denny, paling lama 5—6 jam sudah bau. Kalau ada daging unggas pada suhu kamar bisa tahan lebih dari 6 jam, dirinya curiga daging itu dikasih bahan pengawet. Soalnya, lebih dari itu biasanya daging unggas sudah tidak bagus karena kuman berkembang setiap 15 menit. “Kalau pada daging unggas itu hanya mengandung satu kuman, terutama bakteri, maka dalam waktu lebih dari lima jam bisa mencapai lebih dari satu juta bakteri. Padahal, jumlah bakteri pada unggas yang baru dipotong nggak mungkin hanya satu sel. Bisa dibayangkan berapa juta jumlah bakterinya bila tanpa ada perlakuan. “Kalau ada pedagang yang mengklaim daging unggasnya steril, bohong itu! Nggak mungkin!,” tandasnya.

Denny tidak menampik daging unggas yang sudah melewati rantai dingin (dibekukan) itu tidak bebas bakteri. “Bakterinya ada, tapi tidak berkembang,” jelasnya. Dan selama penanganannya baik, yaitu mengikuti kaidah-kaidah sanitasi, lanjut dia, maka kuman itu tidak bertambah. Penanganannya, misalnya karkas terkemas dengan baik, pada suhu yang konstan, dan tidak terpapar suhu di atas 10oC. Perubahan suhu yang terlalu ekstrem juga akan mempengaruhi kandungan kuman-kuman dalam daging unggas. Di atas 10oC beberapa jenis kuman sudah mulai tumbuh. Sudah bisa Anda bayangkan bagaimana daging unggas segar yang dijajakan berjam-jam terbuka di pasar-pasar tradisional. “Para ahli kesehatan pangan menganjurkan menyimpan makanan di bawah 4oC atau di atas 60oC,” saran Denny.

Kandungan Gizi Tetap

Benarkah daging unggas beku lebih sehat dibandingkan daging unggas segar? “Daging unggas segar (tanpa pengawet) dan unggas beku sebetulnya sama sehatnya,” tukas Suharyati, SKM, MKM, Kepala Unit Produksi Makanan RSCM dan Kepala Instalasi Gizi RSCM, Jakarta.

Unggas beku itu, menurut Suharyati, intinya tidak mematikan kuman, tapi menonaktifkan kuman. Karena pada suhu tertentu, khususnya pada -18ÂșC, kuman dinonaktifkan oleh keadaan suhu yang sangat rendah.

Menurut Ir. Hasanuddin Yasni, MM, Direktur Eksekutif Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia, suhu yang disarankan untuk membekukan produk unggas adalah -4oC sampai dengan -12oC. Tapi orang sering sering mencampurnya dengan produk perikanan yang -18oC karena memang logistik khusus unggas di Indonesia masih minim. “Kelemahan produk unggas yang dibekukan adalah dari tekstur dagingnya menjadi lebih keras,” ucapnya.

Meski begitu, “Unggas beku bisa bertahan sampai tahunan. Pada suhu   -18oC, karkas utuh bertahan hingga 12 bulan. Sedangkan yang sudah dipotong-potong, bertahan sampai 9 bulan,” paparnya. “Sebenarnya, unggas beku bisa tahan sampai 1,5 tahun,” imbuh Hari.

Lantas, bila unggas beku itu dicairkan, apakah kumannya akan berkembang lagi? Proses pencairan (thawing) bertujuan untuk melembekkan daging unggas sebelum dimasak. “Proses pelembekan sebaiknya dilakukan dalam refrigerator (kulkas) atau dalam microwave di mode refrost,” ucap Suharyati. Namun bukan berarti secara manual tidak bisa. Pencairan bisa juga dilakukan pada air mengalir (keran) yang dingin, bukan dengan air panas. “Kalau setelah proses thawing daging unggas tidak segera dimasak, kumannya akan berkembang lagi,” imbuhnya.

Meskipun dibekukan, sesungguhnya nutrisi (gizi) daging unggas tidak berubah. “Gizi, terutama vitamin, akan turun pada saat suhu dipanaskan,” ucap Denny. Tujuan utama pembekuan, tambah Suharyati, bertujuan lebih untuk mempertahankan umur simpan. Sementara kehilangan nutrisi, lantaran sangat kecil, sesuai laporan USDA, dapat diabaikan.

Sementara menurut pendapat Hari, penurunan nutrisi pada unggas yang dibekukan pasti ada. Oleh sebab itu, untuk memperlambat penurunan itu, perlakuannya harus benar. “Kalau penyimpanan masih dalam hitungan satu minggu, saya kira tidak akan ada penurunan nutrisi. Sebaliknya, dalam hitungan tahun, sudah pasti ada penurunan nutrisi dan rasa daging. Namun, tidak mungkin penjual menyimpan hingga satu tahun,” paparnya.

Ada Keraguan

Yang jelas, “Unggas beku atau unggas segar, itu pilihan. Tapi, sebaiknya daging unggas segar tidak dibiarkan terlalu lama di suhu ruang. Sebaiknya unggas yang baru dipotong langsung diolah,” saran Suharyati. Daging unggas yang baik dan layak konsumsi, secara kasat mata, dicirikan oleh fisiknya yang tidak berbau, tidak berwarna biru/hijau, dan dagingnya kenyal.

Berbeda dengan negara maju, hingga kini mayoritas konsumen unggas di Tanah Air lebih memilih daging unggas segar yang baru beberapa saat dipotong. “Setahu saya, konsumen lebih senang membeli unggas hidup, lalu dipotong dan disaksikan langsung,” ungkap Abdul Hadi, pedagang unggas potong hidup di Pasar Blok A, Jakarta Selatan. Dia mengaku pernah mencoba menjajakan unggas yang sudah dipotong terlebih dahulu, tapi ternyata tidak disukai konsumen. Pembeli mengira, itu unggas tiren (mati kemarin)atau berformalin.

Kenyataan itu dibenarkan Abdusomad, pedagang unggas potong hidup di Pasar Mayestik, Jakarta Selatan. “Terhadap unggas beku, konsumen mengaku tidak tahu cara memotongnya. Mereka ragu daging unggas itu halal atau tidak,” ucapnya. “Memang, pembeli lebih memilih unggas hidup langsung potong. Kalau nggak lihat motongnya, mereka nggak mau beli,” Saritun, pedagang unggas potong hidup di Pasar Cipete Selatan, Jakarta Selatan, membenarkan.

Pengakuan para pedagang diamini langsung oleh konsumen. Ellen Suwoto (35) misalnya, selama berbisnis katering di Matraman Dalam, Jakarta Timur, mengaku selalu membeli unggas segar langsung dari pasar dan langsung dimasak. “Unggas segar dagingnya bagus dan sudah terjamin halal. Karena saya punya langganan, saya tahu bagaimana proses pemotongannya dari awal, jadi sudah yakin,” kilahnya.

Pun diakui oleh Nani Haryadi (48) yang PNS dan Maryati (45)-ibu rumah tangga, saat ditemui di Pasar Ujung Menteng, Jakarta Timur. “Saya yakin aja karena melihat sendiri unggasnya dipotong, jadi masih baru, bukan unggas yang sudah nggak segar lagi,” aku Nani. “Saya sudah lama berlangganan unggas di sini (Ujung Menteng) dan tidak pernah ada keluhan. Saya sudah kenal penjualnya dan yakin kalau unggas ini bagus,” imbuh Maryati.

Tak hanya itu, Nani bahkan yakin daging unggas yang dia beli terjamin kebersihannya karena dia melihat sendiri unggas dibersihkan dan dicuci. Demikian pula keyakinan Maryati. Atas alasan itu pula kedua konsumen itu tidak memilih unggas beku. “Saya ragu unggas beku yang dijual itu unggas potong segar yang dibekukan. Takutnya unggas itu tidak terjamin halal, dan kalau rusak ‘kan nggak kelihatan,” dalihnya. “Saya tidak yakin unggas beku yang dijual itu dalam kondisi baik sebelum dibekukan. Lagi pula ‘kan belum pasti halal,” imbuh Maryati.

Namun, tidak demikian bagi Riyanti Rizal (42), pemilik kios sate unggas di kawasan Harapan Indah Bekasi, Jabar, yang sudah berjualan sejak 1998. “Sebenarnya saya lebih sering menggunakan unggas segar, tapi beberapa minggu lalu mencoba menggunakan unggas beku. Ternyata cara memasak dan rasa dagingnya sama saja,” tuturnya. Perbedaannya, lanjut dia, sebelum diolah harus diproses dulu (dicairkan) dan itu memakan waktu cukup lama.

“Secara umum, konsumen masih lebih percaya pada daging segar karena secara psikologis mereka lebih mantap membeli unggas yang secara langsung mereka melihat sendiri prosesi penyembelihannya. Padahal, seluruh rumah potong unggas (RPA) sudah mengantongi sertifikasi halal dari LPPOM MUI,” papar Wiwik Sugianti, pemilik Wirabumi PS, produsen unggas segar dan beku di Sleman, Yogyakarta. Awalnya, lanjut dia, konsumen enggan membeli daging unggas beku, namun pelan-pelan mereka mau juga. Termasuk tetangganya yang jadi dokter dan perawat.

Tidak Gampang

Konsumen lebih memilih daging unggas yang baru dipotong, sah-sah saja. Namun alangkah bijak bila konsumen ikut juga terlibat memikirkan bagaimana menata pasar tradisional menjadi bersih dan nyaman. Sebab, secara umum, pemotongan unggas di pasar-pasar tradisional mengabaikan persoalan limbah dan pencemaran. Menurut Achmad Dawami, Senior Vice President PT Primatama Karya Persada, produsen besar unggas potong di Jakarta, dari setiap pemotongan unggas itu sekitar 8%—10% menghasilkan limbah berupa darah dan bulu.

Oleh sebab itu, Suherman, Supervisor Pasar Pondok Labu dan Cipete Selatan, berharap, pemotongan unggas di pasar-pasar bisa dilokalisasi. Alhasil, pasar bisa bersih, rapi, dan nyaman bagi pembeli. “Memang mengubah mindset (pola pikir) seseorang itu tidak gampang, perlu proses, mungkin sekian hari bahkan berbulan-bulan,” keluhnya.

Menurut Siti Adiprigandari Adiwoso Suprapto, MSc., Ph.D., peneliti yang juga dosen di Universitas Indonesia, minat konsumen terhadap produk unggas lebih ditentukan oleh kebiasaan si konsumen itu sendiri. Konsumen lebih suka unggas yang memang potong di tempat karena asumsinya sama seperti sayuran, lebih segar. Kalau dibekukan, ada anggapan bahwa ini tidak segar lagi karena mereka tidak bisa menyaksikan apakah itu dipotong secara halal atau tidak. “Persoalannya adalah persepsi dan anggapan kalau yang segar itu lebih baik, dan something frozen pasti akan ada sesuatu yang hilang,” papar Riga, sapaan akrabnya. Mengubah sifat dan kebiasaan konsumen, lanjut dia, itu sulit. Kita harus bisa mempelajari kesukaan konsumen, lalu dengan preferensi seperti itu bisa dilakukan modifikasi.

No comments:

Post a Comment