Monday 18 April 2011

PENGELOLAAN KEUANGAN BISNIS KELUARGA

 
Saat krisis 1998, banyak perusahaan besar di Indonesia tumbang. Satu pilar penopang ekonomi ketika itu adalah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). UMKM sejatinya berakar dari perusahaan keluarga. Di Bangladesh, M. Yunus berhasil menggerakkan bisnis mikro yang dikelola khususnya oleh para ibu rumahtangga. Untuk keberhasilannya itu, beliau mendapat hadiah Nobel pada tahun 2006.
            Kendati begitu, bisnis perlu bertumbuh dan naik kelas ke jenjang berikutnya. Sayangnya, data statistik tentang keberlanjutan hidup family business / bisnis keluarga (BK) tidak terlalu menggembirakan. Menurut riset Grant Thornton, 70% BK tidak bisa bertahan melewati 1 generasi, dan 90% sudah keburu tutup sebelum tongkat estafet diserahkan ke generasi ketiga. Untuk bertahan hidup dan terus berkembang, BK perlu mengadopsi profesionalisme dalam pendekatan pengelolaan bisnisnya.
            Satu faktor penting yang sering membuat sebuah perusahaan bangkrut adalah pengelolaan keuangan yang tidak memadai. Perusahaan yang memiliki prospek jangka panjang bagus pun akan tumbang bila tidak prudent dalam mengelola keuangannya sehingga kehabisan likuiditas.
            Sisi prudent dari pengelolaan keuangan BK dimulai dengan pemisahan yang jelas antara keuangan keluarga dan keuangan perusahaan. Pasalnya, campur aduk antara uang perusahaan dan uang keluarga merupakan sumber kekacauan keuangan. Berikutnya, pemisahan ini harus diikuti pencatatan keuangan yang sesuai dengan kaidah standar akuntansi yang berlaku. Biarpun sudah dipisah, kalau ternyata catatan keuangannya tidak jelas, tetap saja akan muncul masalah yang bisa membuat perusahaan berantakan.

Kebijakan keuangan
Informasi yang muncul setelah ada pemisahan yang jelas antara keuangan keluarga dan perusahaan, serta ada pencatatan yang jelas dan mengikuti kaidah standar, merupakan input yang berharga bagi kebijakan keuangan BK. Beberapa kebijakan yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut.
            Pertama, komposisi hutang dan modal sendiri. Komposisi ini sering juga diacu sebagai struktur finansial (bila hutang mencakup hutang jangka pendek dan panjang) atau struktur modal (bila berdasarkan hutang jangka panjang saja). Besarnya komposisi hutang dibanding total modal (hutang + ekuitas atau modal sendiri) tergantung dari beberapa faktor utama, di antaranya: Profitabilitas (+), stabilitas dari arus kas (+), tangibilitas dari asset (+), tingkat suku bunga pinjaman (-), tingkat pajak pendapatan perusahaan (+), pertumbuhan ekonomi (+), dan laju inflasi (+). Tanda di dalam kurung plus ‘+’ menunjukkan hubungan searah (contoh, bila perusahaan makin tinggi profitnya, maka komposisi hutang optimalnya dibanding total modal bisa lebih ditingkatkan), sementara tanda minus ‘-‘  menunjukkan hubungan berlawanan arah (contoh, tingginya suku bunga pinjaman akan meningkatkan beban arus kas pembayaran bunga dan mempercepat perburukan rasio cakupan bunga (interest coverage ratio) sehingga tidak dianjurkan memiliki rasio hutang tinggi).
Semakin stabil arus kas, semakin tinggi pula komposisi hutang optimal di dalam permodalan. Semakin besar rasio tangible asset atau aset berwujud (gedung, mesin, mobil, dll) terhadap total asset, semakin tinggi pula komposisi hutang yang optimal, karena pemberi hutang akan mersa lebih aman dalam memberikan hutang. Sebaliknya, semakin tinggi bunga pinjaman, maka sebaiknya porsi hutang dalam permodalan dikurangi. Ekonomi yang sedang bertumbuh tinggi mengindikasikan secara umum bisnis sedang bertumbuh pesat sehingga mampu meningkatkan kapasitas berhutang. Inflasi yang tinggi, bila belum diikuti kenaikan suku bunga, menguntungkan bagi perusahaan yang berhutang terutama hutang dengan bunga tetap. Dalam situasi ini, biaya bunga tidak naik tetapi nilai riil hutang justru turun akibat inflasi.
Kedua, keseimbangan modal kerja (working capital). Modal kerja berhubungan dengan current assets (aset jangka pendek) dan current liabilities (kewajiban jangka pendek) pada neraca perusahaan. Ada beberapa cara untuk membiayai current assets. Kendati begitu, untuk keperluan manajemen risiko biasanya perlu digunakan prinsip penyepadanan (matching). Artinya, bagian dari current assets yang selalu konsisten ada (disebut permanent current assets) dianjurkan untuk dibiayai dengan hutang jangka panjang. Sementara itu, sisanya (disebut seasonal atau temporary current assets, karena bersifat musiman) dibiayai dengan hutang jangka pendek.
Ketiga, perhatikan komposisi aset tetap (fixed assets) dibandingkan total assets. Rasio fixed asset yang tinggi biasanya berimplikasi fixed cost yang tinggi. Akibatnya, Fixed asset yang berlebihan bisa membebani arus kas perusahaan bila penjualan belum stabil atau ekonomi sedang melambat. Sebaliknya, saat ekonomi sedang boom, fixed asset justru membawa dampak positif, yaitu penjualan meningkat tapi biaya relatif tetap, plus ada potensi kenaikan nilai fixed assets (terutama property) saat ekononomi boom.
Keempat, struktur biaya (fixed costs vs variable costs). Isu finansial keempat ini terkait erat dengan komposisi fixed assets dan rasio hutang. Total fixed costs bisa berasal dari fixed operational costs (yang biasanya terkait dengan fixed assets) dan dari fixed financial costs (yang terkait dengan rasio hutang).
Kelima, komposisi revenue atau penjualan. Revenue yang berasal dari repeat customers atau pelanggan/nasabah loyal memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan nasabah baru. Komposisi revenue seperti ini perlu dijaga kesimbangannya dibandingkan akuisisi pelanggan baru yang biasanya memerlukan biaya berlipat kali dibanding bisnis dari pelanggan lama.
Keenam, manajemen kas. Cash is king in business. Itu tidak diragukan lagi. Oleh karena ini pengelolaan atau manajemen kas ini perlu diperhatikan. Prinsipnya, jangan terlalu banyak menumpuk aset dalam bentuk uang tunai yang tidak memberikan bunga memadai. Namun di sisi lain, pebisnis harus hati-hati agar jangan kekurangan uang tunai saat diperlukan.  Timing dari penempatan dana kas pada instrumen investasi yang pas menjadi penting agar hasilnya optimal dn risikonya bisa tetap terkendali. Selain itu, pencegahan kebocoran akibat occupational fraud (penyalahgunaan uang dan aset perusahaan) penting dilaksanakan. Fraud bisa berdampak buruk dalam jangka pendek akibat kekurangan dana tunai, dan juga jangka panjang karena mentalitas ’korupsi’ bisa menular bagaikan kanker bila dibiarkan tanpa tindakan.
Ketujuh, kebijakan dividen (dividend policy). Kebijakan dividen, yang merupakan pembagian rejeki BK, bisa menjadi isu yang sangat sensitif, terutama bila BK sudah memasuki generasi kedua dan ketiga. Dengan semakin banyak pihak yang berkepentingan untuk mendapat rejeki berupa pembagian dividen, semakin banyak pula potensi konflik yang timbul bila kebijakan dividen tidak dikelola dengan baik. Untuk kebijakan dividen ini, pertimbangan perpajakan, kebutuhan pemegang saham, serta peluang pertumbuhan perusahaan harus dipertimbangkan secara terpadu.
Last but not least, manajemen risiko finansial secara proaktif dan terintegrasi perlu direncanakan dan diimplementasikan sangat cermat. Manajemen risiko bisa dilakukan melalui pendekatan natural hedging (penyepadanan pemasukan dan pengeluaran, baik dari sisi timing maupun mata uangnya), transfer risiko dengan instrumen seperti asuransi, ataupun menggunakan instrumen derivatif untuk proteksi harga dan posisi terbuka di masa depan.
Profesionalisme di bidang finansial bagi BK memang tidak semudah membalik telapak tangan. Itulah sebabnya survival rate BK tidak terlalu menggembirakan statistiknya. Tidak ada jalan pintas untuk melestarikan BK. Kerjakeras, kerjacerdas, kerja tuntas, dan kerjasama, serta kerja sepenuh hati, itu semua wajib hukumnya.
 Semoga teman teman yang mau berusaha mendapatkan pencerahan