Tuesday 19 April 2011

TINDAKAN-TINDAKAN PENCEGAHAN PENYAKIT



MOTO KESEHATAN : TINDAKAN PENCEGAHAN LEBIH BAIK DARIPADA PENGOBATAN.

Pencegahan penyakit  ternak pada prinsipnya terdiri dari dua komponen, yaitu tindakan sanitasi dan vaksinasi. Tindakan sanitasi sendiri secara berurutan terdiri atas tindakan dekontaminasi dan desinfeksi.  Desinfeksi dengan penggunaan desinfektan yang tidak didahului dengan dekontaminasi menyebabkan ketidakefektifan tindakan sanitasi.

Penghapushamaan (Dekontaminasi)  dan Deisinfeksi Kandang serta Peralatan
Dekontaminasi didefinisikan sebagai proses fisik untuk menghilangkan bahan-bahan biologis dan anorganik dari permukaan suatu bangunan, termasuk kandang dan peralatan. Sedangkan desinfeksi merupakan proses penghancuran organisme patogenik. Jadi dekontaminasi yang menyeluruh digunakan untuk mencapai desinfeksi yang efektif. Dekontaminasi merupakan upaya untuk membersihkan seluruh bagian kandang dan peralatan dari kotoran-kotoran yang menempel dengan jalan mencuci bersih menggunakan deterjen atau dengan mengapur dinding kandang sebagai persiapan desinfeksi kandang dan peralatan.
Desinfektan dan Antiseptika
Desinfektan adalah preparat kimia yang digunakan untuk desinfeksi kandang dan peralatan, guna membasmi mikroorganisme, khususnya mikroorganisme yang membahayakan. Preparat ini tersedia secara komersial yang masing-masing memiliki karakteristik kimiawi, toksisitas, biaya dan penggunaan tertentu. Desinfektan merupakan bahan kimia yang dapat mematikan mikroorganisme yang sedang dalam keadaan tidak aktif, sehingga hanya mematikan bentuk vegetatif dari mikroorganisme, tetapi tidak efektif terhadap spora. Desinfektan dapat mencegah infeksi dengan jalan penghancuran atau pelarutan jasad renik yang patogen. Desinfektan digunakan untuk barang-barang tak hidup, misal : ruang operasi, kandang alat-alat operasi dan sebagainya.
Antiseptika adalah semua senyawa yang dapat membunuh atau mencegah perkembangan mikroorganisme. Antiseptika biasanya digunakan untuk jaringan hidup. Konsentrasi antiseptika biasanya rendah, guna menghindari kerusakan jaringan. Kadar antiseptika yang tinggi dapat membunuh sel-sel bakteri maupun jaringan hidup yang terkena. Konsentrasi antiseptika yang rendah hanya cukup untuk menghambat perkembangbiakan jasad renik, sehingga bersifat bakteriostatik.
Pengetahuan tentang desinfektan dan antiseptika perlu dikembangkan, karena tidak semua desinfektan atau antiseptika dapat digunakan untuk pengendalian mikroorganisme secara umum. Desinfektan atau antiseptika  tertentu hanya cocok untuk mengendalikan mikroorganisme tertentu, tidak mampu mengendalikan mikroorganisme lain. Beberapa jenis desinfektan  atau antiseptika ada yang hanya efektif pada lapisan luar saja, ada yang memiliki daya kerja yang luas terhadap mikroorganisme dan ada pula yang hanya bisa mengatasi sejumlah kecil mikroorganisme. Pengguna desinfektan atau antiseptika dituntut  bisa melakukan pilihan secara tepat, sehingga minimal harus mengetahui kelemahan dan keunggulan masing-masing desinfektan atau antiseptika.
Bakteri dalam bentuk spora lebih tahan terhadap desinfektan. Hal ini disebabkan  karena dinding spora bersifat impermeabel dan asam ribonukleat di dalam protoplasma memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pengaruh buruk dari desinfektan.
Desinfektan dan  antiseptika berbeda dengan antibiotik, karena desinfektan dan antiseptika memiliki toksisitas selektif yang rendah, keduanya bersifat toksik tidak hanya pada mikroba patogen tetapi juga terhadap sel inang. Oleh karena itu,  desinfektan  hanya digunakan untuk membunuh mikroorganisme pada lingkungan mati, sedangkan antiseptika mungkin hanya digunakan pada jaringan hidup terbatas pada permukaan kulit
 Sifat-sifat penting Desinfektan dan Antiseptika
Beberapa sifat-sifat penting antiseptika dan desinfektan,  antara lain :
  • Harus memiliki sifat antibakterial yang luas.
  • Tidak mengiritasi jaringan hewan atau manusia.
  • Memiliki sifat racun yang rendah, tidak berbahaya bagi manusia maupun ternak.
  • Memiliki daya tembus yang tinggi.
  • Tetap aktif meskipun terdapat cairan tubuh, darah, nanah dan jaringan yang mati.
  • Tidak mengganggu proses kesembuhan.
  • Tidak merusak alat-alat operasi, lantai kandang dan dinding.
  • Tidak menimbulkan warna yang mengganggu pada jaringan yang dioperasi.
  • Harga murah, karena biasanya diperlukan dalam jumlah yang besar.
Desinfektan, selain memiliki sifat-sifat tersebut di atas, maka harus memiliki juga sifat-sifat berikut :
  • Mampu menembus rongga-rongga, liang-liang, maupun lapisan jaringan organik, sehingga memiliki efek mematikan mikroorganisme yang lebih tinggi.
  • Harus bisa dicampur dengan air, karena air merupakan pelarut yang universal dan dengan senyawa-senyawa lain yang digunakan untuk desinfeksi.
  • Harus memiliki stabilitas dalam jangka waktu yang panjang.
  • Efektif pada berbagai temperatur. Walaupun desinfektan daya kerjanya akan lebih baik pada temperatur tinggi, namun desinfektan yang bagus adalah desinfektan yang daya kerjanya tidak menurun jika temperaturnya menurun. Pada umumnya desinfektan bekerja baik pada temperatur di atas 650F. Klorin dan Iodifor sebagai desinfektan bekerja baik tidak lebih dari 1100F.
Pada usaha peternakan, desinfektan digunakan untuk mencegah ataupun mengendalikan penyakit infeksi. Desinfeksi terhadap kandang, bangunan-bangunan dan alat-alat peternakan dapat mencegah timbulnya penyakit menular. Pada saat bedah bangkai dan penguburan hewan mati karena penyakit menular, desinfektan juga banyak digunakan guna mencegah penularan penyakit  Pada peternakan sapi perah, antiseptika digunakan untuk mencegah penyakit radang ambing atau mastitis. Larutan antiseptika juga dipakai untuk mencuci alat-alat yang berhubungan dengan proses pengolahan susu, misalnya kaleng susu, botol, ember, tangki dan sebagainya.
Diperlukan pertimbangan konsentrasi dan waktu kontak desinfektan yang cukup, sehingga penggunaan desinfektan menjadi aman, efisien dan efektif. Penggunaan konsentrasi yang terlalu tinggi dan kontak waktu yang terlalu lama menyebabkan desinfektan menjadi tidak praktis, mahal, membakar kulit dan berbahaya bagi ternak. Perlu dipertimbangkan pula aktivitasnya dalam melawan bakteri, virus, fungi dan protozoa, misalnya 4% asam asetat bisa membunuh virus PMK, namun tidak membunuh Mycobacterium paratuberculosis, yang merupakan penyebab John Disease. Label produk harus dicek tanggal kadaluwarsanya, karena penggunaan desinfektan yang kadaluwarsa menyababkan tidak efektif lagi untuk mendesinfeksi. Waktu kontak kebanyakan desinfektan berkisar antara 20 menit sampai dengan 30 menit.
 Macam-macam Desinfektan dan Antiseptika
 Desinfektan dan antiseptika  bisa digolongkan berdasarkan cara fisis dan kimiawi. Secara fisis, yang penting adalah penggunaan panas dan sinar. Panas dapat diperoleh dengan dilewatkan melalui pemanas atau dengan air yang dipanaskan, kemudian disemprotkan ke tempat yang disucihamakan. Jenis sinar yang digunakan dalam sterilisasi adalah sinar ultraviolet dan sinar gamma. Di Indonesia, kecuali untuk peternakan unggas, secara fisis di atas hanya dilakukan dengan menggunakan air panas, selain murah dan gampang dilakukan, juga memiliki kelebihan lain yaitu air dapat memasuki lubang-lubang kecil.
Desinfektan bisa digunakan dengan variasi cara, antara lain : spray, sabun, aerosol atau fumigan.
Secara kimiawi, terdapat beberapa jenis senyawa desinfektan yang tersedia secara komersial dengan karakteristik pemakaian tertentu, yaitu :
  • Kresol, merupakan biosida yang murah dan efektif bila digunakan untuk bangunan dan tanah, termasuk dinding kandang dan peralatan kandang, Bersifat korosif, toksik  pada konsentrasi tinggi dan meninggalkan warna. Senyawa ini tidak boleh digunakan pada kandang yang di dalamnya ada ternak hidup, telur atau daging yang diproses, karena dapat mengakibatkan kontaminasi pada produk-produk tersebut dan bersifat toksik pada manusia dan ternak. Desinfektan ini sangat efektif mengatasi jamur, virus, bakteri, karena mampu mematikan mikroorganisme tersebut.
  • Fenol organik, cocok digunakan untuk tempat penetasan (hatchery) dan untuk desinfeksi peralatan di dalamnya. Fenol ektif melawan bakteri, virus dan fungi, termasuk bakteri penyebab Tuberkulosis dan John’s  Disease serta virus PMK. Fenol dan beberapa senyawa fenolik mempunyai kegunaan sebagai antiseptika, desinfektan atau bahan pengawet.
  • Amonium kuarterner, dianjurkan untuk mendesinfeksi  kandang, peralatan dan tempat penetasan Senyawa ini memiliki dua bagian pada struktur kimianya, satu bagian bersifat hidrofilik dan bagian lain bersifat hidrofobik. Desinfektan ini efektif melawan bakteri gram negatif maupun positif, fungi, virus, tetapi tidak efektif melawan virus PMK ataupun Mycobacterium paratuberculosis, bakteri penyebab John’s Disease. Keberadaan materi organik, seperti feses akan menurunkan aktifitasnya. Desinfektan ini tergolong mudah larut dalam air, sangat efektif menghilangkan bau-bauan, daya kerja tinggi dan tidak berefek pada kulit manusia, meskipun juga menyebabkan karat. Keunggulan lain dari desinfektan ini adalah mudah menembus bagian-bagian sebelah dalam yang menjadi sasaran sanitasi. Kelemahan desinfektan ini adalah menyebabkan karat dan memiliki sifat racun yang tinggi
  • Klorin, banyak digunakan di rumah potong, disamping itu pula digunakan untuk menjernihkan air pada peternakan, air minum, sanitasi telur, desinfeksi abattoir (RPH) dan RPA serta kandang unggas. Kaporit atau hipoklorit sering untuk sanitasi sapi perah dan lebih aktif dalam air hangat. Efektif melawan bakteri, banyak virus, terutama parvovirus. Bisa dicampur dengan sabun, tetapi jangan dicampur asam. Aktivitasnya yang kuat menurun dengan adanya materi organik, terutama amoniak atau senyawa-senyawa amino. Desinfektan ini termasuk golongan halogen keras yang bisa mematikan bakteri, virus dan jamur dalam waktu relatif singkat. Kelemahan desinfektan ini adalah mudah menyebabkan perkaratan pada peralatan yang berasal dari bahan metal serta dapat merusak kulit manusia. Larutan chlorin efektif sebagai bakterisidal yang digunakan dalam kolam renang. Khlor (Cl2} dalam air membentuk asam hipoklorit (HOCl) dan asam Hidrokhloride (HCl) dengan reaksi : Cl2 +   H2O ↔ HOCl. Asam HOCl selanjutnya berperan sebagai desinfektan, bereaksi  dengan bervariasi senyawa, baik dengan senyawa anorganik maupun organik atau terurai menjadi menjadi ion H+ dan OCl-, dengan reaksi : HOCl     →    H+ +  OCl- Derajat ionisasi dipengaruhi oleh pH. Ionisasi terjadi pada pH asam sampai netral, sedangkan pada pH alkalis,  ionisasi akan dihambat.
  • Formalin/formaldehid,  cocok untuk fumigasi telur yang terdapat di dalam almari yang dirancang khusus dan harus hati-hati terhadap petugas yang menggunakannya, karena formalin  merupakan senyawa korosif dan bersifat karsinogenik. Keunggulan dari desinfektan ini adalah mudah menembus bagian-bagian sebelah dalam yang menjadi sasaran sanitasi. Gas dapat diperoleh dengan jalan mencampur  Kalium Permanganat dengan formalin. Supaya efektif, maka fumigasi dilakukan pada suhu 30o – 60oC dan kelembaban di atas 75%. Fumigasi ini sangat efektif untuk desinfeksi kandang unggas, dengan syarat kandang dikosongkan, seluruh sela-sela ditutup tirai plastik cukup rapat, dan didiamkan selama 3 – 5 hari. Kandang akan terbebas dari bakteri, jamur dan virus yang mungkin bisa menyebabkan wabah penyakit.
  • Iodofor, bisa digunakan sebagai antiseptika dan desinfektansia. Iodofor adalah kombinasi iodine dan agen-agen yang larut di dalamnya. Iodofor akan membebaskan iodin bebas jika dilarutkan dalam air. Iodofor merupakan desinfektan yang baik, namun tidak efektif bila ada senyawa organik. Sifat Iodofor kurang toksik dibandingkan desinfektan yang lain. Kekurangannya adalah meninggalkan bekas warna pada pakaian dan permukaan yang lain. Iodine bebas bersifat toksik pada kulit, sehingga dalam penggunaannya Iodine dikombinasikan dengan senyawa organik yang lain dan disebut Iodophor. Contoh Iodophor adalah povidone-iodine (Betadine) yang sering digunakan sebagai antiseptik di rumah sakit.  Iodophor merupakan desinfektan yang termasuk golongan halogen.  Bahan ini merupakan sintetis dari yodium dan zat organis yang memiliki kemampuan mikrosidal. Desinfektan ini cocok untuk mengatasi semua bakteri gram positif maupun gram negatif, virus dan jamur. Pada konsentrasi 50 – 75 ppm digunakan sebagai desinfektan pada inkubator,  kandang unggas dan RPA. Pada konsentrasi 12,5 – 25 ppm untuk sanitasi telur. Pada konsentrasi yang lebih rendah dari 12,5 ppm digunakan untuk antiseptika, dan dicampurkan dalam air minum unggas.
Dikenal juga  berbagai antiseptika dan desinfektan  bersifat asam, antara lain :
  • Asam anorganik, HCl dan H2SO4 0,1 N telah dipakai untuk desinfeksi ruangan yang tercemar tinja. Keduanya korosif, sehingga tidak dianjurkan. Asam borat 2 – 5% digunakan untuk jaringan kulit. Bersifat tidak merangsang jaringan, namun daya mematikan jasad reniknya tidak besar.
  • Asam organik, seperti asam salisilat dan benzoat banyak dipakai sebagai salep. Bersifat germisid lemah, melunakkan tanduk dan dapat membunuh jamur.
Beberapa alkali juga bisa digunakan untuk desinfeksi. Contoh-contoh alkali yang bisa berperan sebagai desinfektan, antara lain :
  • Caustic soda/ NaOH (sodium hydroxide), sangat aktif jika dicampur dengan air panas, namun bersifat merusak cat, plitur dan tekstil. Perlu melindungi diri pada saat penggunaan, dengan  pakaian, sarung tangan, sepatu karet.
  • CaO (lime/Quiclime) atau gamping, jika ditambah dengan air maka CaO menjadi Ca(OH)2, yang bersifat melarutkan kuman. Gamping banyak dipakai untuk lantai maupun halaman. Apabila berlebihan, akan merusak kuku babi, kambing maupun sapi. Gamping tidak bisa membunuh spora kuman anthrax dan Clostridium. Ca(OH)2 di dalam air dengan perbandingan 1 : 4, menghasilkan milk of lime, digunakan untuk desinfeksi lantai tercemar tinja dan guna mencapai hasil yang memuaskan, maka penggunaan minimal 2 jam. Larutan campuran CaO dengan belerang yang direbus, bisa dipakai sebagai pembunuh parasit.
  • Khlorhexidine (Nolvasan-S), merupakan sediaan khlor sintetik, alkalis dan mudah larut dalam air serta tidak bersifat toksik. Secara luas bersifat virusidal, terutama terhadap penyebab rabies,  efektif melawan bakteri gram positif  maupun negatif. Daya kerja tidak dipengaruhi oleh darah, nanah, percikan air susu dan cairan jaringan. Khlor sintetik dipakai untuk desinfeksi alat-alat pemerahan dan ambing. Larutan 0,2 – 5%, digunakan untuk  teat dipping. Kadang-kadang khlorhexidine dikombinasi dengan surfaktan, zat warna atau bahan lain, misal : gliserin.  Sediaan khlor yang juga banyak dipakai, antara lain : sodium dan kalsium hipoklorit, kaporit, khloramin-T dan iodine monokhloride.
Keampuhan Antiseptika dan desinfektansia
Antiseptika dan desinfektansia sebagai bahan antimikrobial memiliki kekuatan keampuhan membunuh bakteri tertentu. Guna mengetahui keampuhan bahan antimikrobial seringkali digunakan istilah koefisien fenol, yaitu keampuhan antimikrobial tertentu yang dibandingkan dengan keampuhan yang dimiliki fenol.  Koefisien fenol kurang dari satu, berarti antimikrobial tersebut kurang efektif dibandingkan fenol. Sebaliknya koefisien lebih besar dari satu, menunjukkan bahwa antimikrobial tersebut lebih ampuh daripada fenol.
Hasil penelitian Rahayu (2006), menunjukkan bahwa keampuhan alkohol, etanol 70% terhadap bakteri penyebab mastitis, yaitu  Staphylococcus aureus, cukup besar, yaitu 4 kali kekuatan fenol. Tabel 2.1., meyajikan hasil uji koefisien fenol sensitifitas etanol 70% terhadap  Staphylococcus aureus.
Tabel 2.1. Hasil Uji Koefisien Fenol Sensitifitas Etanol 70% Terhadap  
                 Staphylococcus aureus

 Pengenceran
5 menit
10 menit
15 menit
Alkohol 70%1 : 300
1 : 350
1 : 400
1 : 450
HidupMati
Mati
Mati
MatiMati
Mati
Mati
MatiMati
Mati
Mati
Fenol1 : 90
1 : 100
HidupHidup
HidupMati
MatiMati
Sumber : Rahayu (2006)
Kekuatan etanol dalam membunuh Staphylococcus aureus jauh lebih besar daripada fenol. Etanol menunjukkan aktivitas antimkroba yang cepat dengan spektrum luas melawan bakteri vegetatif, virus, jamur, tetapi tidak sporosidal. Sel Staphylococcus aureus sebagai penyebab mastitis tidak memiliki spora sehingga akan mati dengan pemberian etanol.
Diperlukan pertimbangan konsentrasi dan waktu kontak yang cukup pada penggunaan desinfektan, sehingga penggunaan desinfektan menjadi aman, efisien dan efektif. Penggunaan konsentrasi yang terlalu tinggi dan kontak waktu yang terlalu lama menyebabkan desinfektan menjadi tidak praktis, mahal, membakar kulit dan berbahaya bagi ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa etanol dengan konsentrasi 70 % secara  efektif bisa digunakan untuk dipping puting sapi perah post pemerahan guna mencegah kejadian mastitis, dengan lama pencelupan 10 menit. Pada penggunaan etanol 90%, zone hambat terhadap Staphylococcus aureus lebih kecil dibandingkan etanol 70%. Hal ini berkaitan dengan aktivitas katalitik air yang menurun, karena jumlah air dalam larutan berkurang pada etanol 90%. Etanol dengan konsentrasi di bawah 50% tidak efektif membunuh bakteri Staphylococcus aureus.
Level kaporit yang menghasilkan daya hambat tertinggi terhadap Staphylococcus aureus dicapai pada  level 60 ml/L, yang merupakan konsentrasi tertinggi dalam percobaan.  Sedangkan pada Iodofor, dicapai pada level 10 ml/L, yang merupakan level terendah dari perlakuan yang dicobakan. Iodofor 10 ml/L menghasilkan daya hambat yang tertinggi terhadap Staphylococcus aureus, karena pada konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi yang paling efektif bagi Iodophor   sebagai antiseptik pada kulit puting dan bekerja dengan cara inaktivasi protein mikroba. Pada level Iodophor yang lebih tinggi dari 10 ml/L daya hambat Iodophor terhadap Staphylococcus aureus menurun. Hal ini disebabkan konsentrasi antiseptika yang tinggi akan mengurangi jumlah air, padahal air memiliki peran aktivitas katalitik terhadap denaturasi protein mikroba.
Selain desinfektan dan antiseptika, beberapa istilah yang berkaitan dengan desinfektan dan antiseptika harus diketahui, antara lain :
  • Bakterisid, merupakan bahan kimia yang mempunyai daya kerja mematikan sel-sel bakteri.
  • Mikrobisid, merupakan bahan kimia yang daya kerjanya mematikan lebih dari satu macam mikroorganisme, misalnya bakteri, virus, protozoa, dsb.
  • Bakteriostat, merupakan bahan kimia yang hanya menghambat perkembangan bakteri, jadi tidak mematikan bakteri.
  • Sanitaiser, merupakan bahan kimia yang dapat menekan jumlah bakteri pada suatu lingkungan tertentu, sehingga lingkungan tersebut aman dari serangan penyakit. Sanitaiser tidak mematikan semua bentuk mikroorganisme yang berada di permukaan, tetapi hanya membatasi perkembangbiakannya sehingga sumber penyakit tersebut tidak mampu menimbulkan infeksi.
Vaksin dan Vaksinasi
Vaksinasi adalah imunisasi aktif secara buatan, yaitu sengaja memberikan antigen yang diperoleh dari agen menular pada ternak sehingga tanggap kebal dapat ditingkatkan dan tercapai resistensi terhadap agen menular tersebut.
Vaksin diklasifikasikan menjadi dua klas, yaitu vaksin hidup dan vaksin mati. Vaksin hidup berisi mikroorganisme yang telah dilemahkan virulensi (keganasannya). Pengurangan virulensi dikenal dengan istilah atenuasi (perlemahan). Cara atenuasi yang sederhana terhadap bakteri untuk keperluan vaksinasi adalah dengan pemanasan bakteri sampai tepat di bawah titik kematian atau memaparkan bakteri pada bahan kimia penginaktif sampai batas konsentrasi subletal. Menumbuhkan bakteri pada medium yang tidak cocok untuk pertumbuhannya, contohnya : Vaksin kolera unggas (Pasteurella multocida) oleh Pasteur ditumbuhkan di bawah keadaan yang kekurangan zat makanan.
Cara etenuasi terhadap virus adalah dengan membiakkan pada spesies yang tidak sesuai untuk tumbuhnya, contoh : virus rinderpest yang patogen terhadap sapi, dilemahkan dengan menumbuhkannya pada kambing. Cara etenuasi lainadalah menumbuhkan virus mamalia pada telur atau menumbuhkan pada telur lain jenis, misalnya :virus influenza pada unggas dilemahkan pada telur burung dara. Cara etenuasi yang umum adalah dengan memperpanjang masa pembiakannya di jaringan pembiak. Meskipun jaringan pembiak dapat diperoleh dari berbagai jenis, umumnya menggunakan sel biakan dari jenis hewan yang akan divaksinasi guna mengurangi efek samping akibat pemasukan jaringan asing.
Baik vaksin hidup maupun vaksin mati memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihannya vaksin hidup merupakan kekurangannya vaksin mati dan sebaliknya kekurangannya vaksin hidup merupakan kelebihannya vaksin mati.
 Beberapa kelebihan vaksin hidup :
  • Kekebalan yang dihasilkan oleh vaksin hidup sama dengan kekebalan yang diperoleh karena infeksi alami.
  • Merangsang pembentukan antibodi yang lebih tahan lama dan juga memberi perlindungan pada pintu-pintu masuk antigen.
  • Tidak perlu adjuvan
 Beberapa kekurangan vaksin hidup, antara lain :
  • Bahaya pembalikan menjadi lebih virulen selama multiplikasi antigen dalam tubuh ternak yang divaksin.
  • Penyimpanan dan masa berlaku vaksin yang terbatas.
  • Diperlukan stabilisator dalam penyimpanan.
  • Tingginya resiko tercemar dengan organisme yang tidak diinginkan.
Beberapa kelebihan vaksin mati, antara lain :
  • Tidak menyebabkan penyakit akibat pembalikan virulensi.
  • Mantap dalam penyimpanan.

Beberapa kekurangan vaksin mati, antara lain :
  • Perlu perhatian yang luar biasa pada saat pembuatan guna memastikan bahwa tidak tersisa virus virulen aktif di dalam vaksin.
  • Kekebalan berlangsung singkat, sehingga harus ditingkatkan kembali dengan pengulangan vaksinasi yang mungkin menimbulkan reaksi-reaklsi hipersensitifitas.
  • Pemberian secara parenteral memberikan perlindungan yang terbatas.
  • Resistensi lokal pada pintu-pintu masuk alamiah/multiplikasi utama infeksi virus tidak terjadi.
  • Memerlukan adjuvan untuk meningkatkan antigenisitas yang efektif.
Kegagalan Vaksinasi
Perlu diingat bahwa vaksinasi adalah salah satu program pengendalian penyakit pada ternak yang bertanggung jawab terhadap kerugian ekonomis yang cukup tinggi apabila dalam pelaksanaanya ternyata menemui kegagalan. Adanya kegagalan vaksinasi menyebabkan angka pesakitan (morbiditas) ternak tang tinggi, penurunan produksi dan tingginya biaya yang harus dikeluarkan.
Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan vaksinasi antara lain:
  1. Vaksin. Pembatasan life span (masa berlaku) vaksin yang sudah lewat atau kadaluwarsa menyebabkan vaksin tidak berguna apabila digunakan karena tidak akan menghasilkan imunitas yang diharapkan. Apabila temperatur pada saat penyimpanan dan transportasi vaksin di atas 4 derajat celcius, maka vaksin akan kehilangan potensinya. Demikian pula vial dan bahan asal vial yang tidak memenuhi syarat. Bahan pengencer yang disediakan berkualitas rendah. Seringkali digunakan bahan pengencer berupa air sumur, air destilasi atau garam fisiologis, hal ini tidak dibenarkan. Perlu dicatat bahwa bahan pengencer yang digunakan adalah yang telah disediakan oleh pabrik pembuat vaksin. Bahan pengencer tidak boleh dicampur atau ditambahkan zat apapun.
  2. Cara Vaksinasi. Secara khusus dosis dan cara/route pemberian vaksin tertentu sudah ditetapkan oleh produsen pembuat vaksin. Apabila hal tersebut dilakukan tidak sesuai aturan maka terjadilah kegagalan vaksin. Jarum suntik dan dropper yang tidak steril dan tidak stabil akan mengurangi potensi vaksin. Salah dosis, kekurangan dosis vaksin akan menimbulkan imunitas yang kurang. Kelebihan dosis akan menimbulkan immunotolerant dan harga vaksin menjadi mahal. Bahan pengencer yang tidak steril menjadikan vaksin tidak murni lagi. Kadang-kadang peternak menggunakan bahan pengencer berupa air ledeng yang mengandung chlorin, sehingga vaksin kurang menghasilkan potensi antigenisitasnya dan menyebabkan timbulnya antibodi yang kurang. Route pemberian vaksin yang sering digunakan antara lain : intra muskuler (injeksi serabut otot), tetes hidung (intra nasal), tetes mata (intra oculer), subkutan (di bawah kulit). Route pemberian vaksin harus dilakukan sesuai petunjuk produsen vaksin. Kesalahan route pemberian vaksin menyebabkan potensi imunitas yang dihasilkan kurang memuaskan. Jadwal pemberian vaksin seringkali tidak diperhatikan peternak. Beberapa vaksin harus diulang pemberiannya dan dikenal dengan istilah booster. Apabila rangkaian pemberian vaksin yang mungkin terdiri dari booster I dan booster II dan seterusnya tidak lengkap dilakukan , maka imunitas yang diharapkan tidak akan tercapai.
  3. Antibodi Maternal. Antibodi maternal adalah antibodi yang berasal dari induk yang diturunkan kepada anak, kalau pada unggas melalui kuning telur pada waktu telur masih ada di ovarium. Kegunaan antibodi tersebut adalah untuk ketahanan tubuh anak terutama pada awal-awal kehidupannya. Antibodi ini diperoleh secara pasif. Vaksinasi yang dilakukan pada saat antibodi maternal masih ada dalam darah sirkulasi, artinya belum secara total dikatabolisme, maka vaksin yang diberikan akan percuma, karena dinetralisir oleh antibodi maternal. Hasil penelitian Zalizar dan Rahayu (1997), menunjukkan bahwa setelah pemberian vaksin ND La Sota ke-I pada unggas umur 8 hari, titer HI (Hemaglutinasi Inhibisi) menurun sangat drastis sampai 78,75% dari antibodi maternalnya, hal ini disebabkan masih ada campur tangan antibodi maternal terhadap keberhasilan vaksinasi. Titer HI setelah pemberian vaksin ND La Sota ke-II, yaitu pada umur 18 hari, ternyata jauh lebih tinggi daripada titer HI vaksinasi ke-I. Demikian pula titer HI setelah vaksinasi ke-tiga, pada umur 28 hari, lebih tinggi daripada titer HI vaksinasi ke-I dan ke-II.  Antibodi maternal secara efektif mencegah keberhasilan vaksinasi sampai antibodi tersebut habis, yaitu sekitar 10 – 20 hari setelah unggas menetas.
  4. Cold Storage (pendingin). Vaksin harus dipertahankan tetap dingin dari mulai dikeluarkan oleh pabrik pembuat sampai pada saat akan diberikan kepada ternak. Vaksin dan bahan pengencer kadang-kadang menjadi satu tempat, akan tetapi kadang juga terpisah dengan temperatur penyimpanan yang berbeda, hal ini tergantung dari pabrik pembuat vaksin. Tindakan yang lebih hati-hati adalah apabila selama transportasi vaksin ditempatkan di ice box sehingga temperatur yang rendah dapat selalu dipertahankan.  
  5. Kemampuan Membangun Antibodi. Vaksin yang diberikan akan berhubungan langsung dengan status imun unggas yang menerima vaksin. Immunocompetence adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan kemampuan membangun antibodi yang dimiliki oleh ternak. Immunocompetence sangat dipengaruhi oleh faktor kongenital (bawaan lahir) dan faktor lingkungan. Faktor kongenital yang banyak berperan adalah organ-organ limfoid, yang terdiri atas : bursa fabricius pada unggas, thymus, lien yang akan menghasilkan sel-sel limfosit. Bursa fabricius merupakan tempat pendewasaan dan deferensiasi sel-sel limfosit B yang berperan dalam antibodi humoral, sedangkan thymus berperan sebagai tempat pendewasaan sel-sel limfosit T yang berperan bagi pembentukan antibodi seluler. Apabila ada gangguan pembentukan antibodi oleh organ-organ limfoid di atas maka kekebalan tubuh yang terbentukpun akan terganggu. Faktor lingkungan yang berperan menentukan immunocompetence ternak adalah status nutrisi dan penyakit. Nutrisi yang jelek terutama kandungan protein yang rendah akan menurunkan immunocompetence. Temperatur yang tinggi dan tingginya curah hujan juga akan menyebabkan stress pada ternak yang akan menurunkan juga immunocompetence. Penyakit-penyakit strategis pada unggas yang sering menyebabkan hambatan imunitas (immunocompetence) adalah IBD (gumboro) dan ND.
  6. 6. Mycotoxin (racun dari jamur) dalam pakan. Adanya mikotoksin yang masuk ke dalam tubuh ternak bersama dengan biji-bijian pakan ternak akan menyebabkan keracuinan dan menurunkan immunocompetence. Mikotoksin mudah berkembang pada lingkungan dengan temperatur tinggi dan kelembaban yang tinggi pula, seperti di negara-negara tropis, termasuk Indonesia.
7.      Kontaminan pakan. Pestisida yang mencemari biji-bijian pakan diindikasikan sebagi salah satu faktor penyebab rendahnya immunocompetence. Hal ini berkaitan dengan efek pestisida yang menyebabkan limfositoksik (keracunan pada sel-sel limfosit). Hal ini akan menyebabkan kegagalan vaksinasi. Logam berat, seperti Cu, Cd dan Pb seringkali mencemari pakan. Logam-logam tersebut berasal dari limbah industri, pupuk kimia, rodentisida, asap mobil, cat dan herbisida yang mencemari udara, air dan pakan. Apabila pakan tercemar tersebut masuk ke tubuh ternak maka hal ini merupakan faktor penghambat imunitas ternak.

Upunggasengatasi Kegagalan Vaksinasi

Ada beberapa tindakan guna mengatasi kegagalan program vaksinasi, yaitu :
  • Vaksin harus diperoleh dari sumber terpercaya. Lihat batas waktu pemakaian dan pilih vaksin yang masih panjang batas waktu pemakaiannya.
  • Selama transportasi vaksin, hindarkan vaksin dari kontaminasi dan cahaya matahari. Tindakan yang paling aman adalah menyimpan vaksin dalam termos atau ice box.
  • Apabila vaksin disimpan, usahakan temperatur penyimpanan sesuai petunjuk pabrik. Baca secara hati-hati petunjuk penyimpanan. Kadang-kadang antara vaksin dengan pengencernya terpisah dan harus harus disimpan pada temperatur yang berbeda.
  • Vaksinasi dilakukan saat udara dingin, yaitu pada pagi hari atau sore hari untuk mencegah stres.
  • Monitoring kualitas pakan, jangan sampai mengandung mikotoksin, karena mikotoksin dengan kadar 30 ppb akan menunrunkan immunocompetence.
  • Pada vaksin yang dicampur air minum, maka perhitungan volume air yang digunakan harus tepat, hal ini disesuaikan dengan umur unggas dan kondisi iklim, karena konsumsi air bervariasi tergantung cuaca dan umur. Harus dihindari air yang mengandung chlor atau desinfektan. Vial vaksin harus dibuka di dalam air minum untuk menghindari kontaminasi udara.
  • Dianjurkan diberi obat cacing pada unggas grower dan finisher, kira-kira seminggu sebelum vaksinasi untuk mencapai hasil yang optimal.
  • Bisa diberikan adjuvant atau immunomodulator untuk mencapai immunocompetence yang diharapkan.  

 Sumber Bacaan :
  • Anonimous, 1998. Cleaning and Disinfection of Premises. Maintaining Livestock  Health after a Flood. Missisippi State University Extension Service.
  • Dwidjoseputro, 1989. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan.
  • Jones, 1998. Staphylococcus aureus Mastitis : Cause, Detection and Control. Virginia-Maryland Regional College of Veterinary Medicine, Virginia Tech.
  • Murtidjo, BA., 1995. Pengendalian Hama dan Penyakit Unggas. Penerbit Kanisius.
  • Rahayu, ID., Kunci Sukses Mengatasi Kegagalan Program Vaksinasi. Poultry Indonesia, Mei – 2000.
  • Rahayu, ID., 2006. Sensitifitas Staphylococcus aureus Sebagai Bakteri Patogen Penyebab Mastitis Terhadap Antiseptika Pencelup Puting Sapi Perah. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian. Universitas Muhammadiyah Malang.
  • Rahayu, ID., 2001. Mengatasi Mikotoksin Sebagai Kontaminan Bahan Pakan Ternak. Poultry Indonesia, April 2001.
  • Smith, TW. 1997. Tsmith@poultry.msstate.cdu or msuinfo@ur.msstate.edu.
  • Shane, SM.1998. Buku Pedoman Penyakit Unggas. (Terjemahan). Alih Bahasa :  Tangenjaya dkk.. American Soybean Association.
  • Singh, B. P. & Chauban, R. S., 1999. Vaccine Failures. Poultry International. September, 1999.
  • Subronto dan Tjahadjati, 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press.
  • Tizard, 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Terjemahan Masduki Partodiredjo.. Penerbit Universitas Airlangga.
  • Zalizar, L dan Rahayu, ID., 1997. Pengeruh Pemberian Vaksin Newcastle Disease (ND) La Sota Terhadap Titer Hemaglutinasi Inhibisi (HI) pada Unggas Broiler. Laporan Penelitian. Laboratorium Kesehatan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Muhammadiyah Malang.
Tags: pencegahan penyakit, penyakit, penyakit ternak, tindakan-tindakan pencegahan penyakit

No comments:

Post a Comment