Tuesday 19 April 2011

TikTok yang Montok


Lebih dari tiga tahun terakhir ini puluhan ruas kakilima di kota-kota besar ditumbuhi tenda makan maupun resto yang menyajikan masakan bebek. Digoreng atau pun disemur dan ditongseng. Akan halnya tiktok baru sekitar dua tahun terakhir ini dikenal oleh kuping sebagian kecil restomania. Sungguhpun begitu, kekondangan tiktok akhir-akhir ini justru merambah ke beberapa resto bergengsi. Kecuali tidak amis, dagingnya yang selembut daging ayam ras, broiler, dan rasa gurihnya yang segurih ayamkampung membuat restomania penasaran.

Sayangnya, pasar yang mulai lapar dan selera yang kuat terangsang akan gurihnya titok ternyata tak terpenuhi. Suplai unggas buah perkawinan itik-entok ini sangat terbatas. Sejak persilangan yang menghasilkan tiktok dikenal oleh kalangan balitnak IPB maupun Ditjennak Deptan berikut beberapa instansi andahan-nya, tak ada upaya serius mengembangkannya sebagai ternak pedaging kecuali si penyilang awal, Santoso.
Yang Montok, Tipis Lemak
Menjawab TROBOS pekan yang lalu di rumahnya Santoso menuturkan, tiktok itu lahir dari obsesinya untuk mendiversivikasikan ternak unggas dengan yang tahan penyakit, memiliki tekstur daging ayam, siklus pertumbuhannya cepat. Untuk ini sejak awal ia sudah mengincar entok dan bebek.
Berbulan-bulan dan berbagai wilayah sentra peternakan bebek Santoso datangi. Akhirnya ia menemukan bibit dari Inggris yang biangnya berasal dari Perancis. Jenis bebek inilah yang memenuhi tuntutan biologis untuk bisa disilangkan dengan entok lalu melahirkan bebek yang kemudian Santoso namakan “tiktok”. Bukan sarati, bukan beranti, togri, ritog, tongki, atau bukan juga mandalung sebagaimana beberpa orang ajukan. Nama “tiktok” itu pula yang Santoso patenkan pada tahun 2000 di lembaga Paten, Dep.Kehakiman.

Ciri biologis utama tiktok adalah pada posturnya yang montok mirip entok. Warna bulunya umumnya putih mirip bebek Peking. Kalau tiktok kenyang dengan hanya pakan komposit mandiri (dedak, katul, jagung, dan remah ikan) seberat 1,8 ons, maka bebek Peking menghabiskan 2,5 ons sampai 3 ons dan inipun pakan konsentrat fabrikan.

Walaupun porsi pakannya jauh lebih sedikit ketimbang bebek manapun, badan titok tetap montok. Dan kemontokannya bukan karena lemak. Kalau broiler 1,3 % di dada dan 6,8 % di pahanya, maka lemak di dada titok cuma 1 % dan 1,3 % di pahanya. Persilangan entok dengan bebek-biang lebih efektif dengan inseminasi buatan. Dan telur yang dihasilkan, ditetaskan dengan mesin penetas.

Daya tetas telur induk tiktok itu hanya sekitar 33 %. Tiap 3 telur tetas hanya menghasilkan seekor DOT (day old tiktok). Bila tiap pekan dibutuhkan 100 dot, maka telur yang mesti ditetaskan tak kurang dari 300 butir. Karena produktivitas induk biasanya tak lebih dari 60%, maka untuk mencapai jumlah telur tetas dibutuhkan tak kurang dari 70 sampai 75 ekor induk per hari (300 x 10/6 : 7). Biasanya seekor entok pejantan mampu “mengawini” 4 ekor bebek induk. Sedangkan lama penetasan telur tiktok umumnya 32 hari. Ini lebih cepat dari telur entok yang biasanya 35 hari, atau lebih lambat ketimbang telur bebek yang 28 hari. Dalam waktu sekitar dua sampai dua-setengah bulan bayah (anak itik) sudah menjadi tiktok pedaging dengan berat sekitar 1,8 kg sampai 2 kg.
Selengkapnya baca Majalah TROBOS edisi Oktober 2008
Sumber :
9 September 2009

No comments:

Post a Comment