Saturday 19 June 2010

Keuntungan Dibalik Desahan Entok

Menyantap menu entok cabai hijau yang disajikan Mbak Saliem, sebutan untuk istri Ramiono, seakan mengingatkan memori di era 90-an. Saat itu, Yogyakarta-Medan, menjadi rute tetap penulis yang memanfaatkan transportasi darat saat menikmati liburan kuliah untuk pulang kampung ke Medan. Kota Gombong, yang menjadi tempat persinggahan pertama bus antar lintas provinsi, merupakan alasan utama memilih jalur darat. Pasalnya, salah satu kota kecamatan di Kabupaten Jawa Tengah itu menyediakan sajian kuliner khas, yakni entok dengan beragam olahan. 

Beruntung, rumah makan yang disinggahi menyediakan menu olahan entok, mulai gulai entok, entok bakar, hingga sate entok. Tarifnya juga relatif murah untuk ukuran saat itu, yakni Rp 7.000 per porsi. Menggunakan sistem prasmanan (ambil sendiri), konsumen bebas memilih menu kesukaannya berikut porsi yang dikehendaki. Biasanya, setiap mampir di tempat itu, minimal dua potong bebek gulai berukuran sedang bakal masuk ke perut. Tak jarang, seporsi sate entok atau sepotong dada entok bakar ikut menyelinap ke dalam perut. Rasanya, jauh melebihi daging ayam karena gurih, dan khas. Selain itu, dagingnya tidak berbau seperti bebek.

Wajar di siang "bolong" pada Minggu (4/4), Ramiono hanya bisa memandang takjub sekaligus keheranan saat menyaksikan tamunya sangat lahap, bahkan, terkesan rakus, menyantap entok cabai hijau olahan sang istri. Setelah dijelaskan penyebabnya, ia akhirnya mengerti, dan, justru memersilakan tamunya untuk menghabiskan hidangan tersebut.

Memang, unggas yang suka mendesah ini masih sangat langka di Kota Medan. Bila di Kota Gombong, banyak bertabur warung tenda sederhana bertuliskan menu entok, di Medan justru dikuasai menu pecel lele dan ayam penyet. Sementara, menu entok, mungkin, hanya segelintir. Padahal, rasa yang ditawarkan unggas ini jauh lebih memikat ketimbang ayam dan bebek. Selain itu, memeliharanya juga relatif mudah. Hanya saja, imej jorok tentang entok mengalahkan nilai ekonomis yang ditawarkan unggas ini.

Betapa tidak, hanya membutuhkan waktu berkisar tiga sampai empat bulan, entok siap dijual untuk keperluan konsumsi.

Mengenai harganya, jangan khawatir, Ramiono telah membuktikannya. Untuk seekor entok berusia empat bulan yang memiliki berat berkisar empat kilogram, bisa dilego seharga Rp 100 ribu. Apalagi, selain melahap semua makanan, unggas ini juga belum mengenal "Keluarga Berencana". Ramiono mengaku, setiap betina entok mampu bertelur sebanyak 14 butir dengan masa pengeraman selama lima minggu.

Bayangkan lembaran rupiah yang bakal dihasilkan unggas "genit" ini. Uniknya, memulai usaha ini tidak membutuhkan modal besar. Berbekal dana senilai Rp 1 juta, setiap orang sudah bisa merawat sekira 25 ekor anak entok berusia seminggu yang dibeli seharga Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu per ekor. Sisa dananya dimanfaatkan untuk membuat kandang dan persediaan pakan ternak, selain mencari tambahan makanan lainnya untuk pertumbuhan anak entok tersebut. Masa rawannya terhadap serangan penyakit juga sebentar, yakni di usia kurang dari sebulan. Setelah itu, tinggal menanti entok siap dijual dengan memberinya banyak makanan. Dalam hitungan kasar, pada empat bulan ke depan, sebanyak 25 ekor anak entok itu akan berharga Rp 2.500.000. Artinya, ada pendapatan bersih senilai Rp 1,5 juta dalam kurun waktu empat bulan. Pemasarannya juga tak sulit. Ramiono mengaku banyak pedagang yang mengincar entok peliharaannya.

Agaknya, ini merupakan peluang bisnis yang cerah dan masih belum dilirik banyak pihak. Apa salahnya menafikan imej jorok itu, karena bisa disiasati dengan rajin membersihkan kandang, dan lebih memikirkan keuntungan finansial yang bakal diperoleh melalui budidaya entok. Jadi, jangan ragu memanfaatkan lahan pekarangan yang tersia-siakan dengan memelihara entok. Pasalnya, tersembunyi keuntungan dibalik desahan entok.

1 comment:

Post a Comment